Category: Kemiskinan

  • Generasi Z dan Milenial “Terancam” Miskin Karena Doom Spending, Apa Itu?

    Doom Spending,Doom Spending Gen Z,Doom Spending Meaning,Doom Spending Adalah,Doom Spending Gen Z Artinya,Spending Artinya,Spending,Financial,Bisnis,Ekonomi,Lifestyle,Kemiskinan,Gen Z,Milenial
    Ilustrasi
    SAFAHAD TechnologyDoom spending adalah istilah untuk menggambarkan perilaku belanja seseorang tanpa pertimbangan, sebagai cara untuk meredakan kecemasan akibat pesimisme terhadap ekonomi dan masa depannya.

    Di tengah ketidakpastian ekonomi, istilah Doom Spending muncul. Hal ini berpotensi menyebabkan generasi Z hidup dengan kondisi keuangan yang lebih buruk dibandingkan generasi sebelumnya.

    Fenomena ini mengacu pada pengeluaran yang tidak teratur. Psychology Today menjelaskan bahwa doom spending terjadi saat seseorang berbelanja tanpa berpikir panjang.




    Umumnya, tindakan ini dilakukan sebagai pelarian ketika individu merasa stres atau khawatir mengenai situasi ekonomi dan masa depan mereka.

    Keadaan semakin diperburuk oleh keberadaan smartphone yang memudahkan akses informasi tentang berbagai isu, mulai dari ekonomi hingga lingkungan. Belum lagi adanya fitur Buy Now Pay Later (BNPL) yang mendorong orang untuk melakukan pembelian impulsif.

    Survei Intuit Credit Karma juga menyoroti perilaku doom spending tersebut. Laporan itu melibatkan survei lebih dari 1.000 responden di AS pada November 2023.

    Baca Selengkapnya, Pages / Halaman 2

    Dari hasilnya terungkap bahwa mayoritas masyarakat AS (96%) merasa cemas mengenai kondisi ekonominya. Sementara itu, lebih dari seperempat responden menghabiskan uang untuk mengatasi stres mereka.

    Sementara di Indonesia belum ada studi resmi tentang fenomena doom spending ini, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa melihat tanda-tanda perilakunya mungkin saja fenomena serupa bisa terjadi di Indonesia.

    Selain itu, data tentang fenomena doom spending di antara Gen Z dan milenial di AS cukup relevan dengan tren yang diamati di tanah air. Selain itu, Indonesia juga mengantongi bonus demografis, dengan mayoritas penduduknya berada dalam kelompok usia produktif, termasuk Gen Z dan milenial.

    “Di saat yang bersamaan kalau kita melihat kurangnya literasi keuangan juga menjadi faktor lain yang mendorong perilaku doom spending,” kata Yusuf seperti dikutip CNN Indonesia, Sabtu (28 September 2024).

    Ia menekankan bahwa tingkat literasi di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara lain. Hasil Survei Literasi dan Inklusi Keuangan Nasional (SNLIK) 2024 menunjukkan bahwa Indeks Literasi Keuangan Nasional berada di angka 65,43 persen.

    Sebaliknya, beberapa negara tetangga telah melaporkan angka yang lebih tinggi: Malaysia sebesar 88,37 persen, Singapura sebesar 97,55 persen, dan Thailand sebesar 95,58 persen.

    Baca Selengkapnya, Pages / Halaman 3

    Yusuf menguraikan, perilaku belanja doom cenderung muncul pada masa ketidakstabilan ekonomi ditambah dengan kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi ke depan. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang bertujuan untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik.

    “Hingga saat ini dan saya kira ketika pekerjaan rumah ini masih belum ada solusi konkritnya maka perilaku seperti doom spending gampang untuk terjadi,” tambah Yusuf.

    Editor: Abdul Hamid

  • Tamatan SMK dan SMA Dominasi Pengangguran Terbanyak di RI

    SAFAHAD Technology - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat masih ada 7,2 juta pengangguran di Indonesia sampai Februari 2024.
    Ilustrasi Pengangguran Tamatan SMK dan SMA (indoraya.news)
    SAFAHAD Technology – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat masih ada 7,2 juta pengangguran di Indonesia sampai Februari 2024. Dari jumlah ini, paling banyak adalah tamatan SMK dan SMA.

    Plt Kepala BPS Amalia Widyasanti mengatakan penduduk yang paling banyak bekerja adalah lulusan SD ke bawah. Lalu disusul oleh lulusan SMA dan SMP.

    “Dari sebanyak 142,18 juta orang penduduk bekerja sebesar 36,54 persen berpendidikan SD ke bawah, sehingga pekerja berpendidikan rendah mendominasi penduduk yang bekerja di Indonesia,” ujar Amalia pada konferensi pers, Senin (6/5).




    Secara rinci, jumlah penduduk usia kerja di Indonesia mencapai 214 juta orang. Dari jumlah itu yang tercatat sebagai angkatan kerja sebanyak 149,38 juta orang, tetapi yang terserap atau bekerja hanya 142,18 juta orang sehingga sisanya 7,2 juta orang masih menganggur.

    Menurut Amalia, pengangguran ini masih tinggi lantaran jumlah angkatan kerja yang muncul tak semuanya terserap atau mendapatkan pekerjaan.

    Berdasarkan data BPS, jumlah pengangguran dari lulusan SMK masih merupakan yang paling tinggi dibandingkan tamatan jenjang pendidikan lainnya, yaitu sebesar 8,62 persen. Lalu, tamatan SMA sebesar 6,73 persen dan Diploma IV, S1, S2, S2 sebanyak 5,63 persen.

    Baca Selengkapnya, Pages/Halaman 2…

    Sementara itu, pengangguran yang paling rendah adalah lulusan pendidikan SD ke bawah, yaitu sebesar 2,38 persen.


    Lalu, SMP sebesar 4,28 persen dan Diploma I/II/III sebanyak 4,87 persen.

    Meski jumlah pengangguran pada Februari 2024 ini masih tinggi, angkanya terendah sejak Februari 2020 yang pernah berhasil turun ke 6,93 juta atau 4,94 persen. Pada Februari 2023, jumlah pengangguran sebanyak 7,99 juta orang. Lalu pada Agustus 2023 turun lagi menjadi 7,86 juta.

    Sumber: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20240506195723-92-1094678/pengangguran-terbanyak-di-ri-tamatan-smk-dan-sma

  • Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Derita Rakyat

    Herannya pemerintah dalam hal ini terkesan kurang berani menghadapi para investor dari Tiongkok tersebut, mungkin tujuannya adalah agar sang investor tidak lari dan tidak terusik.
    Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas (Sumber: ibadah.co.id)
    SAFAHAD TechnologyOleh Anwar Abbas, Wakil Ketua Umum MUI: Kita senang mendengar pertumbuhan ekonomi di Maluku dan Papua seperti disampaikan Plt Kepala BPS pada kuartal I-2024 tumbuh tinggi mencapai 12,15 persen. Padahal, kuartal I-2023 hanya tumbuh 2,09 persen.

    Tetapi yang perlu diketahui pertumbuhan ekonomi yang sebesar itu di daerah tersebut adalah karena didorong terutama oleh aktivitas pertambangan dan penggalian. Jadi boleh dikatakan yang banyak mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi yang dua digit tersebut adalah pengusaha tambang dan penggalian. Sementara rakyat banyak di propinsi tersebut bisa dikatakan belum menikmati manfaat dari pertumbuhan ekonomi.

    Kalau mempergunakan bahasa orang di sana ketika saya berkunjung ke daerah tersebut, kami ini tidak menikmati hasil dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kalau dapat, kata mereka, kami ini paling-paling dapat remah-remahnya saja.




    Kebenaran dari pernyataan mereka itu tentu bisa kita uji dan lihat dari keadaan ekonomi masyakarat Maluku Utara dan Papua itu sendiri dimana kedua propinsi tersebut masih termasuk ke dalam propinsi termiskin di Indonesia. Hal ini tentu saja sangat tidak kita inginkan apalagi kalau kita lihat dari perspektif amanat konstitusi dimana di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jelas-jelas dikatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

    Pertanyaannya dengan pertumbuhan ekonomi sebesar itu apakah sebesar-besar kemakmuran rakyat sudah terwujud atau belum, minimal di propinsi dimana perusahaan-perusahaan tambang dan penggalian itu berada. Rasanya apa yang terjadi masih jauh panggang dari api.

    Oleh karena itu kita meminta kepada pemerintah agar tidak hanya memikirkan dan mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi saja.


    Tapi juga memikirkan bagaimana kita juga bisa menciptakan pemerataan sehingga yang senang dan puas tidak hanya pengusaha tambang dan penggalian saja, tapi juga masyarakat luas.

    Baca Selengkapnya, Pages/Halaman 2…

    Inilah yang kurang diperhatikan apalagi di perusahaan-perusahaan tambang milik Tiongkok dimana para pekerjanya sangat banyak mereka bawa dari negara mereka sendiri. Padahal di daerah pertambangan tersebut dan juga di daerah-daerah lain di negeri ini sangat banyak putera-putera bangsa yang menganggur dan tidak punya pekerjaan.

    Herannya pemerintah dalam hal ini terkesan kurang berani menghadapi para investor dari Tiongkok tersebut, mungkin tujuannya adalah agar sang investor tidak lari dan tidak terusik. Hal ini tentu tidak bisa kita biarkan apalagi di dalam UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2 sudah jelas-jelas dinyatakan bahwa tiap- tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bahkan di dalam Pasal 28D Ayat 2 dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

    Jadi, pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan pemerintah tersebut terkesan belum sesuai dengan jiwa dan semangat dari konstitusi karena yang mengemuka adalah dimensi pertumbuhan ekonominya saja sementara dimensi pemerataannya masih terabaikan.

    Sumber: https://news.republika.co.id/berita/sd3kd6415/pertumbuhan-ekonomi-pengangguran-dan-derita-rakyat