Sejumlah laporan mengatakan terjadi penembakan gas air mata, yang mengenai dua bangunan sekolah. Seorang saksi mata mengatakan 11 siswa dilarikan ke rumah sakit. Setidaknya enam warga telah ditangkap oleh polisi, menurut lembaga pemantau.
Juru bicara Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), penanggung jawab proyek tersebut, mengatakan pihaknya sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait rencana pengukuran lahan, seraya menyebut warga yang ditangkap sebagai “oknum provokator”.
Sebanyak 16 kampung adat di Pulau Rempang dan Pulau Galang, Kepulauan Riau terancam tergusur oleh pembangunan proyek strategis nasional bernama Rempang Eco City.
Sebagian masyarakat adat menolak direlokasi imbas proyek ini karena khawatir akan kehilangan ruang hidup mereka. Sementara BP Batam beralasan proyek ini demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Berikut ini adalah yang empat hal yang perlu Anda ketahui tentang insiden tersebut.
Selanjutnya, Bagaimana kronologi bentrokan?
Berdasarkan kabar tersebut, pada Kamis (07/09) pagi warga berkumpul di Jembatan 4 Barelang. Sekitar pukul 09:51 WIB, warga melihat ratusan aparat gabungan yang terdiri dari Satpol PP, Polisi, TNI, dan Ditpam Batam membentuk barisan di depan jembatan.
Aparat gabungan kemudian bergerak ke arah warga yang berdiri di ujung jembatan. Kapolresta Balerang Kombes Pol Nugroho dengan pengeras suara meminta warga untuk mundur.
“Kami imbau kepada warga jangan melawan petugas, karena itu melanggar hukum, sekarang dorong maju jalan,” kata Nugroho, seperti dilaporkan wartawan di Batam Yogi Eka Sahputra untuk BBC News Indonesia.
Siapa saja korban bentrokan?
“Ketika di sekolah, warga dan guru meminta tidak ada penembakan gas air mata karena ada anak SD. Tiba-tiba [asap gas air mata] sudah sampai di atap sekolah,” kata Bobi, salah seorang warga yang menyaksikan kejadian itu, kepada Yogi Eka Sahputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Para guru dan murid di sekolah lari terbirit-birit ke luar sekolah, beberapa dari mereka lari ke atas bukit. Warga lainnya, Rohimah, mengatakan ada 11 siswa yang dilarikan ke rumah sakit.
Apa kata BP Batam?
Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, menyebut beberapa warga yang ditangkap pihak kepolisian sebagai “oknum provokator”.
“Beberapa di antaranya bahkan didapati membawa parang dan sudah berhasil diamankan,” ujarnya. Dia mengatakan BP Batam sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait rencana pengukuran lahan tersebut.
Selanjutnya, Apa kata kepolisian?
“Apa yang kami lakukan ini supaya aktivitas bisa [kembali] seperti sedia kala,” kata Arsyad. Arsyad mengatakan sudah dilakukan sosialisasi mengenai proyek strategis nasional ini kepada warga di Pulau Rempang sejak bulan Juli.
Terakhir, katanya, otorita Batam mengadakan “musyawarah mufakat” dengan masyarakat. Kapolri Listyo Sigit dalam jumpa pers di Jakarta membela tindakan polisi di Rempang, juga menyebutnya sebagai upaya penertiban.
Namun, ujarnya, upaya penyelesaian dengan musyawarah mufakat “tentunya menjadi prioritas”.
Apa tanggapan koalisi masyarakat sipil?
Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi mengatakan perencanaan Rempang Eco-City sejak awal tidak partisipatif sekaligus abai pada suara masyarakat adat di 16 Kampung Melayu Tua di Pulau Rempang yang sudah tinggal di wilayah tersebut sejak tahun 1834.
Selanjutnya, Zenzi menilai wajar masyarakat di lokasi tersebut menolak rencana pembangunan
Lebih jauh, Zenzi mengatakan tindakan BP Batam, polisi, dan TNI di Pulau Rempang telah melanggar konstitusi Republik Indonesia yang mengamanatkan negara untuk melindungi segenap warga negara Indonesia.
“Apa yang yang dilakukan tim gabungan keamanan ini bukan untuk Indonesia, bukan untuk melindungi, dan mengayomi masyarakat adat”. “Tindakan tersebut hanya sekedar membela investasi yang akan menggusur masyarakat adat,” ujarnya.
Imbas proyek strategis nasional, warga di Pulau Rempang rencananya akan direlokasi ke Dapur Tiga, Sijantung, Pulau Galang. Warga dijanjikan hunian baru serta biaya hidup selama relokasi.
Perwakilan warga mengatakan mereka tidak menolak pembangunan, namun menolak relokasi. Komunitas adat di Rempang mengklaim telah berada di sana sejak tahun 1834. Mereka juga mengatakan telah mengajukan legalitas tanah kepada pemerintah namun tidak kunjung diberikan.[bbc]