Di tengah ketidakpastian ekonomi, istilah Doom Spending muncul. Hal ini berpotensi menyebabkan generasi Z hidup dengan kondisi keuangan yang lebih buruk dibandingkan generasi sebelumnya.
Fenomena ini mengacu pada pengeluaran yang tidak teratur. Psychology Today menjelaskan bahwa doom spending terjadi saat seseorang berbelanja tanpa berpikir panjang.
Umumnya, tindakan ini dilakukan sebagai pelarian ketika individu merasa stres atau khawatir mengenai situasi ekonomi dan masa depan mereka.
Keadaan semakin diperburuk oleh keberadaan smartphone yang memudahkan akses informasi tentang berbagai isu, mulai dari ekonomi hingga lingkungan. Belum lagi adanya fitur Buy Now Pay Later (BNPL) yang mendorong orang untuk melakukan pembelian impulsif.
Survei Intuit Credit Karma juga menyoroti perilaku doom spending tersebut. Laporan itu melibatkan survei lebih dari 1.000 responden di AS pada November 2023.
Baca Selengkapnya, Pages / Halaman 2
Sementara di Indonesia belum ada studi resmi tentang fenomena doom spending ini, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa melihat tanda-tanda perilakunya mungkin saja fenomena serupa bisa terjadi di Indonesia.
Selain itu, data tentang fenomena doom spending di antara Gen Z dan milenial di AS cukup relevan dengan tren yang diamati di tanah air. Selain itu, Indonesia juga mengantongi bonus demografis, dengan mayoritas penduduknya berada dalam kelompok usia produktif, termasuk Gen Z dan milenial.
“Di saat yang bersamaan kalau kita melihat kurangnya literasi keuangan juga menjadi faktor lain yang mendorong perilaku doom spending,” kata Yusuf seperti dikutip CNN Indonesia, Sabtu (28 September 2024).
Ia menekankan bahwa tingkat literasi di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara lain. Hasil Survei Literasi dan Inklusi Keuangan Nasional (SNLIK) 2024 menunjukkan bahwa Indeks Literasi Keuangan Nasional berada di angka 65,43 persen.
Sebaliknya, beberapa negara tetangga telah melaporkan angka yang lebih tinggi: Malaysia sebesar 88,37 persen, Singapura sebesar 97,55 persen, dan Thailand sebesar 95,58 persen.
Baca Selengkapnya, Pages / Halaman 3
“Hingga saat ini dan saya kira ketika pekerjaan rumah ini masih belum ada solusi konkritnya maka perilaku seperti doom spending gampang untuk terjadi,” tambah Yusuf.
Editor: Abdul Hamid
Leave a Reply